User Rating: 5 / 5

Star activeStar activeStar activeStar activeStar active
 

Ada satu kiasan yang menyatakan: Paling enak jadi anak-anak. Mereka tidak dibebani dengan problem masa lalu dan tidak diburu dengan tuntutan masa depan.

Tapi, kiasan ini agaknya hanya cocok untuk diterapkan pada anak-anak jaman dahulu. Karena bagi anak sekarang, tuntutan masa depan mereka hadir begitu nyata. Tengoklah siswa-siswi SD, yang setiap jam setengah tujuh pagi sudah terlihat terbungkuk-bungkuk menghela ransel penuh buku menuju sekolah. Sementara sepulang sekolah, beragam program sudah pula menanti. Les matematik, bahasa inggris, sempoa hingga TPA.
Bagi anak-anak yang bersekolah di sekolah unggulan atau SDIT, waktu bahkan sudah menjelang petang saat mereka meninggalkan sekolah. Semua aktivitas para bocah ini masih ditambah pula dengan tumpukan peer yang harus dikerjakan. Tak heran, seorang ibu berkelakar, anak SD masa kini jauh lebih sibuk dari pegawai negeri!
Bukan sekedar kanan atau kiri
Bermunculannya anak-anak super sibuk macam ini memang bukan tanpa sebab. Dilandasi alasan menyiapkan masa depan anak yang lebih baik, banyak orangtua tak ragu memberikan tambahan kursus dan les ini itu yang bisa memompa tingkat prestasi akademis anak mereka. Ikut bimbingan belajar, privat matematika, IPA, Sempoa, hingga kursus berbagai macam bahasa. Harapannya tentu agar anak sukses dalam meniti kehidupan masa depannya.
Sebagian besar kegiatan sekolah plus kursus-kursus macam ini memang mengasah sisi kognitif anak yang ‘diurusi’ fungsi otak kiri manusia. Padahal penelitian yang dilakukan George Boggs (dalam Jefferson Center, 1997) sebagaimana dikutip Ratna Megawangi dalam bukunya Pendidikan Karakter justru menunjukkan bahwa sekitar 77% kesuksesan dunia kerja-yang merupakan bagian penting dalam kehidupan di masa depan-justru diperoleh dari aktivitas aktif otak kanan yang berhubungan dengan berbagai macam kecerdasan non akademis seperti kecerdasan emosi, spiritual, seni, bahasa, dll.
Maka, berlandaskan pada temuan-temuan mutakhir soal kecerdasan ini, berbondong-bondong pulalah orangtua memberi tambahan bekal pada anak mereka; Kursus bahasa, les piano, renang, jujitsu, hingga melukis. Sebagai pelengkap, tak lupa pula dipanggil guru mengaji ke rumah untuk memperbaiki bacaan dan menambah hafalan qur’an. Setelah ini semua terpenuhi, bukankah sudah lengkap suplai makanan bagi otak sang anak? Ada asupan otak kanan (yang mencakup pola pikir linear dan analitis) serta otak kiri (yang mencakup nilai rasa, emosi dan jiwa) sekaligus.
Mungkin ya, mungkin juga tidak, sebab pertanyaan yang kemudian tersisa adalah sudahkan tercukupi hak anak untuk bermain?
Bermain adalah belajar tanpa paksaan
Meski sudah berupaya mengimbangi keselarasan aktivitas penunjang otak kanan dan kiri, tak semua anak nyatanya bisa memaksimalkan kecerdasannya. Mengapa? Karena, sekali lagi, ternyata kebanyakan anak kurang memiliki kesempatan bermain dalam artian bersenang-senang, rileks dan melakukan berbagai aktivitas secara bebas sesuai dengan apa yang mereka sukai dan minati bukan apa yang seharusnya mereka sukai dan minati.
Di sebuah mall, saat mengantri di kasir, Ummi bahkan menemui seorang ibu yang sedang memarahi anaknya yang tidak mau berangkat kursus balet. Anak perempuan cilik seusia kira-kira enam tahun itu cemberut dengan berlinang airmata, sementara si ibu terus saja berkata, “Kamu ini bagaimana sih, mama sudah bayar mahal untuk kursus balet kamu, kok sekarang kamu enak saja nggak mau kursus!”
Disinilah persoalannya. Merangsang kerja otak kanan, bukan sekedar memberi anak aktivitas yang bersifatke-kanan-an, melainkan bagaimana dalam satu akttivitas, anak dapat terlibat emosi, rasa, jiwa, mental, dan sisi spiritualnya secara positip, diantaranya lewat bermain.
Itu sebabnya bermain menjadi satu aktivitas penting yang perlu diperhatikan orangtua pada anak. Karena bermain, selain merupakan kegemaran anak-anak, juga merupakan satu sarana penting bila kita ingin anak menjadi lebih cerdas bahkan lebih pintar.
Bagaimana bisa demikian?
“Karena berbagai riset menunjukkan anak lebih mudah belajar, lebih mudah menyerap pelajaran, saat hati mereka senang, diri mereka senang, konsep diri mereka positip.” Jelas DR Anggani Sudono, MA, konsultan pendidikan yang juga merupakan aktivis World Forum on Early Care and Education-National Representative Indonesia.
Lewat aktivitas bermain, yang jelas-jelas menyenangkan bagi anak, segala stimulus atau rangsangan pada otak kanan maupun kiri anak, jauh lebih mudah diterima dan diserap anak dengan sikap yang positip.
Pernyataan ini juga ditunjang oleh berbagai penelitian biologis yang menjelaskan bahwa segala stimulus yang ditangkap pancaindera kita, pertama kali akan direkam pada struktur otak kanan yang merupakan pusat emosi yaitu amigdala (sistem limbic). Barulah kemudian, ia akan disalurkan pada neokorteks yang merupakan belahan otak kiri dan berfungsi sebagai pengatur kecerdasan kognitif. Karenanya, bila situasi belajar anak melibatkan unsur emosi positip, proses perekamannya akan lebih sempurna dan bertahan lebih lama.
Lebih lanjut, emosi positif seperti kegembiraan, bahagia, senang dan minat diketahui pula akan merangsang keluarnya hormon endorfin yang bertugas mengaktifkan kerja zat neurotransmitter antar sel yang bisa membuat kerja otak menjadi efektif dan efisien. Baik dalam hal menyerap, mengingat, maupun berpikir.
Sebaliknya, stress, tertekan atau rasa takut yang umum terjadi pada proses belajar yang hanya mengandalkan kerja otak kiri semata (menghafal, berpikir analitis atau menghitung) justru menghambat proses berpikir dan mengingat.
Raih tumbuh kembang sempurna
Psikolog Surastuti Nurdadi, Msi., menjelaskan bagaimana bermain juga menjadi jalan untuk meraih tumbuh kembang anak yang sempurna, karena memenuhi keseluruhan faktor tumbuh kembang: Fisik atau motorik, intelektual, emosi, juga sosial.
Anak dengan segala aktivitas dinamisnya, seperti meloncat, memanjat, meluncur, menggenggam, mencabut, sesungguhnya tengah melatih gerak motorik kasar dan halus.
“Lihat saja, anak yang cukup bermain, cukup belajar dan berlatih untuk mengendalikan emosi, tidak cepat marah saat bermain sama teman, tidak cepat putus asa kalau tidak berhasil, dia belajar bergaul dengan teman berbeda usia dan karakter, dia belajar warna ketika menggambar, belajar berhitung, membagi, dan banyak lagi,” contoh lulusan pascasarjana Psikologi UI untuk kekhususan Perkembangan ini lagi.
Sesuaikan saja porsi dan cara bermain dengan faktor usia anak. Sampai usia SD, misalnya, porsi bermain anak memang sangat besar dan menjadi aktivitas dominan. Sementara pada usia SD, meski suah ada pengembangan aktivitas sekolah yang bertumpu pada penguatan kerja otak kiri, agar hasilnya lebih sempurna, balutlah kegiatan ini dalam aktivitas-aktivitas ala bermain, yaitu rileks, menyenangkan, membangkitkan minat, hingga tak mudah dilupakan.
Matematika, IPA, IPS, bahkan pelajaran fikih, akhlak dan sejarah pun bisa dilakukan secara serius namun santai agar serapan otak anak lebih maksimal. Lewat berbagai percobaan, contoh-contoh nyata hingga simulasi, anak akan terlibat penuh dengan aktivitas belajar, diberi keleluasaan berkreasi dan yang paling penting anak akan bisa benar-benar menikmati sekolah, yang sesungguhnya berasal dari kata Yunani, Skolea, yang artinya tempat bersantai atau tempat bermain. (Zirlyfera Jamil/Wawancara: Rahmi, Rosita dan Agus)
Bercermin dari Kuda Tunggangan Terbaik
Banyak orang salah menyangka bahwa anak-anak yang bersekolah di sekolah Islam, pesantren atau dididik dengan nilai-nilai Islam yang kuat akan tumbuh jadi anak-anak yang serius, garing dan kaku. Padahal, justru Rasulullah Saw sendiri telah mencontohkan bagaimana mendidik anak, isteri hingga cucunya dengan aktivitas permainan yang menyenangkan mereka, melembutkan hati mereka dan membuka pemikiran mereka.
Tengok saja kejadian dimana pada suatu hari, Hasan dan Husain naik ke punggung Rasulullah Saw dan menjadikan beliau seolah-olah kuda tunggangan. Seorang sahabat yang lewat berkata: “Sebaik-baik kendaraan adalah yang kalian naiki”. Rasul tersenyum seraya menambahkan perkataan; ”dan sebaik-baik pengendara adalah kedua cucuku ini.”
Dengan bermain kuda tunggang ini, bukankah Rasulullah telah mengajarkan Hasan dan Husain persoalan kasih sayang, kemauan berbagi sekaligus melatih aktivitas motorik mereka?
Begitu pula saat Rasulullah mendapati Aisyah bermain-main dengan boneka kuda dan menggerak-gerakkanya di udara seolah terbang. Rasul tidak melarangnya bahkan mengajukan pada Aisyah pertanyaan terbuka yang memancing kreasi: “Bukankah itu kuda, wahai Aisyah? Bagaimana ia dapat terbang?” Maka, Aisyah yang saat itu masih belia dan merasa mendapat tanggapan positip, tanpa rasa ragu menjawab: “Ini kankuda Nabi Sulaiman. Ia bersayap dan karena itu dia dapat terbang.” Rasul tidak menolak atau mecemooh jawaban itu. Beliau bahkan tertawa mendengar imajinasi kreasi Aisyah.
Ustadz Utbah Romin Lc, menjelaskan betapa pentingnya hak bermain bagi anak di dalam Islam, hingga para ulama bahkan bersepakat menyatakan fase kanak-kanak usia 0 hingga 7 tahun sebagai fase mula’abah-fase bermain. “Pada usia ini, anak memang diprioritaskan agar merasa enjoy, merasa senang jiwanya, lewat aktivitas-aktivitas bermain. Diatas usia 7 hingga 14 tahun, barulah anak diajarkan etika dan adab. Dan diatas usia 14 tahun, anak sudah dapat diajak bersosialisasi, melebur ke tengah masyarakat.”
Bahkan, urai dosen Dirosah Al Hikmah ini pula, aktivitas bermain tetap harus dipentingkan, diseimbangkan dengan tugas, kewajiban atau pendidikan yang diberikan orangtua pada anak meski mereka sudah melewati fase mula’abah.
Harapannya, jelas lelaki kelahiran Sambas ini, anak yang kebutuhan bermainnya, kebutuhan refreshingnya terpenuhi, tentu akan lebih mudah diarahkan dan memiliki pemahaman soal tujuan hidup, tugas-tugas bahkan kewajiban-kewajiban dunia akhiratnya. Karena saat diberi pemahaman, pengertian, disosialisasikan dengan nilai-nilai dia dalam kondisi enjoy, siap menerima.
Bahkan pentingnya bersikap tawazun pada dunia “serius namun santainya” anak, bisa pula menjadi sarana meringankan beban orangtua, sehingga bila suatu ketika kelak harus melepas anak ke tengah lingkungan yang bermacam-macam tarikannya, orangtua tak lagi khawatir. Sebab anak sudah memiliki pemahaman yang kuat, bukan sekedar pengetahuan akan mana hal yang haram dan yang halal dalam hidup ini. Dan pemahaman yang kuat ini hanya bisa didapat dari mereka yang menerima nilai-nilai kebaikan dengan sepenuh kesadaran dan rasa senang, tanpa keterpaksaan atau tekanan.